Pada manuskrip peninggalan suku Maya yang dikenal menguasai ilmu falak
dan sistem penanggalan ini, disebutkan pada tanggal di atas akan muncul
gelombang galaksi yang besar sehingga mengakibatkan terhentinya semua
kegiatan di muka Bumi ini.
Di
luar ramalan suku Maya yang belum diketahui dasar perhitungannya,
menurut Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Bambang S
Tedjasukmana, fenomena yang dapat diprakirakan kemunculannya pada
sekitar tahun 2011-2012 adalah badai Matahari. Prediksi ini berdasarkan
pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun
1960-an dan di Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975.
Dijelaskan,
Sri Kaloka, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, badai
Matahari terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME).
Flare adalah ledakan besar di atmosfer Matahari yang dayanya setara
dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima. Adapun CME merupakan
ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel berkecepatan 400
kilometer per detik.
Gangguan cuaca Matahari ini dapat
memengaruhi kondisi muatan antariksa hingga memengaruhi magnet Bumi,
selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, transportasi yang
mengandalkan satelit navigasi global positioning system (GPS) dan sistem
komunikasi yang menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi
tinggi (HF), serta dapat membahayakan kehidupan atau kesehatan manusia.
”Karena gangguan magnet Bumi, pengguna alat pacu jantung dapat mengalami
gangguan yang berarti, ujar Sri.
Langkah antisipatif
Dari
Matahari, miliaran partikel elektron sampai ke lapisan ionosfer Bumi
dalam waktu empat hari, jelas Jiyo Harjosuwito, Kepala Kelompok Peneliti
Ionosfer dan Propagasi Gelombang Radio. Dampak dari serbuan partikel
elektron itu di kutub magnet Bumi berlangsung selama beberapa hari.
Selama waktu itu dapat dilakukan langkah antisipatif untuk mengurangi
dampak yang ditimbulkan.
Mengantisipasi munculnya badai antariksa
itu, lanjut Bambang, Lapan tengah membangun pusat sistem pemantau cuaca
antariksa terpadu di Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan Bandung.
Obyek yang dipantau antara lain lapisan ionosfer dan geomagnetik, serta
gelombang radio. Sistem ini akan beroperasi penuh pada Januari 2009
mendatang.
Langkah antisipatif yang telah dilakukan Lapan adalah
menghubungi pihak-pihak yang mungkin akan terkena dampak dari munculnya
badai antariksa, yaitu Dephankam, TNI, Dephub, PLN, dan Depkominfo,
serta pemerintah daerah. Saat ini pelatihan bagi aparat pemda yang
mengoperasikan radio HF telah dilakukan sejak lama, kini telah ada
sekitar 500 orang yang terlatih menghadapi gangguan sinyal radio.
Bambang
mengimbau PLN agar melakukan langkah antisipatif dengan melakukan
pemadaman sistem kelistrikan agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk.
Untuk itu, sosialisasi harus dilakukan pada masyarakat bila langkah itu
akan diambil.
Selain itu, penerbangan dan pelayaran yang
mengandalkan satelit GPS sebagai sistem navigasi hendaknya menggunakan
sistem manual ketika badai antariksa terjadi, dalam memandu tinggal
landas atau pendaratan pesawat terbang.
Perubahan densitas
elektron akibat cuaca antariksa, jelas peneliti dari PPSA Lapan,
Effendi, dapat mengubah kecepatan gelombang radio ketika melewati
ionosfer sehingga menimbulkan delai propagasi pada sinyal GPS.
Perubahan
ini mengakibatkan penyimpangan pada penentuan jarak dan posisi. Selain
itu, komponen mikroelektronika pada satelit navigasi dan komunikasi akan
mengalami kerusakan sehingga mengalami percepatan masa pakai, sehingga
bisa tak berfungsi lagi.
Saat ini Lapan telah mengembangkan
pemodelan perencanaan penggunaan frekuensi untuk menghadapi gangguan
tersebut untuk komunikasi radio HF. ”Saat ini tengah dipersiapkan
pemodelan yang sama untuk bidang navigasi, tutur Bambang.
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar